BAB I
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini banyak bermunculan
upaya-upaya yang dilakukan baik oleh golongan yang pro maupun yang kontra
terhadap keberadaan Pancasila. M. Syafi’i Anwar mengklasifikasikan paradigma
pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum muslimin, yang
masing-masing memiliki pandangan tersendiri tentang Islam sebagai dasar negara
Indonesia. Pertama, Substantif-Inklusif, yang memandang dan meyakini bahwa
Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan
dengan politik, apalagi kenegaraan. Kedua, Legal-Eksklusif, yang memandang dan
meyakini bahwa Islam bukah hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang
lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu
memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia.
Dua kelompok besar ini juga tampak
secara jelas di negara Indonesia. Satu kelompok yang berupaya keras untuk
mempertahankan agar Pancasila tetap menjadi pondasi NKRI, dan kelompok lainnya
getol dan rutin selalu mengobarkan semangat tentang konsep negara Islam (dan
al-Qur’an) sebagai pilar negara Indonesia.
Makalah ini mencoba untuk
memaparkan secara singkat tentang Pancasila dalam pandangan Islam, pandangan
Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI, pandangan Islam terhadap kesanggupan
Pancasila dalam menjawab problematika bangsa, dan konsepsi Islam dalam
penerapan ideologi bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila dalam pandangan Islam
Dalam suatu negara dibutuhkan suatu
tata aturan yang bisa mengakomodir seluruh masyarakat di bawah naungan negara
tersebut.
Demikian halnya dengan Indonesia
sebagaimana kita ketahui bersama dalam sejarah bahwa sejak lama Pancasila telah
menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.
Pancasila dirasa sangat sesuai dan tepat untuk mengakomodir seluruh ras, suku
bangsa, dan agama yang ada di Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa sila-sila
Pancasila selaras dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.
- Ketuhanan Yang
Maha Esa. al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan (misalkan QS.
al-Baqarah: 163). Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata. Namun,
dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia,
yang disembah.
- Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan dan
bersikap adil (Qs. al-Maa’idah: 8). Islam selalu mengajarkan kepada
umatnya untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri
sendiri, orang lain dan alam.
- Persatuan
Indonesia. Semua agama termasuk Islam mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu bersatu dan menjaga kesatuan dan persatuan (Qs. Ali Imron: 103).
- Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Pancasila dalam sila keempat ini selaras dengan apa yang telah digariskan
al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam
selalu mengajarkan untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi
permasalahan kehidupan (Shaad: 20) dan selalu menekankan untuk menyelesaikannya
dalam suasana demokratis (Ali Imron: 159).
- Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila yang menggambarkan terwujudnya rakyat
adil, makmur, aman dan damai. Hal ini disebutkan dalam surat al-Nahl ayat
90.
Hal ini selaras dengan apa yang
tercermin dalam sila Pancasila. Sila ketuhanan Yang Maha Esa menjadi core dari
semua sila Pancasila lainnya. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab diterapkan
dengan dilandasi oleh sila pertama. Sila persatuan Indonesia harus dilaksanakan
atas dasar sila pertama. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan juga dilandasi oleh sila
pertama. Dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun demikian
(Tafsir, 2007).
Dengan demikian Pancasila pada
dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia, sehingga
tidak mungkin dipaksakan konsep khilafah untuk diterapkan di negeri ini.
Indonesia bukan negara Islam, dan Islam pun tidak memerintahkan untuk
menciptakan negara Islam. Nabi Saw. telah mengajarkan dan memberikan teladan
kepada kita tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras,
suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam
Madinah. Bahkan dalam suatu sabda beliau: Antum a’lamu bi umuri dunyakum
(kalian lebih mengerti tentang urusan dunia kalian). Mengenai urusan keduniaan
kita diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi oleh
ta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini niscaya kehidupan yang kita jalani menjadi
kosong tanpa tujuan yang berarti.
1. Pancasila dalam Perspektif Islam dan Hubungannya
Bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada founding father-nya yang telah menyatukan kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak semua negara di dunia mampu melakukannya. Semangat nasionalisme mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dari puluhan ribu pulau, suku bangsa, bahasa, lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling mendasar.
Kini, ada satu ancaman baru dengan pudarnya nasionalisme sebagian masyarakat Indonesia yang ingin merubah tatanan dan ideologi bangsa dengan menginginkan penerapan syari’at Islam di tengah pluralisme beragama bahkan dengan sistem khilafah. Mereka muncul untuk menegakkan syari’at Islam dengan membawa simbol mayoritas dan lupa bahwa Indonesia ada, juga karena adanya agama lain. Padahal Pancasila tidak membawa agama, namun mengatur hal-hal yang berbaur dengan agama.
Sebagai bentuk perlawanan, akhirnya muncul dikotomi antara kelompok Islamis dan nasionalis yaitu kelompok yang menginginkan penerapan syari’at Islam serta membentuk Indonesia dalam sistem khilafah dan kelompok yang tetap mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa. Kelompok Islamis seolah-olah merasa tidak kaffah menjalankan syari’at Islam di negara pancasila, demikian pula kelompok nasionalis merasa mengkhianati bangsanya ketika syari’at Islam diformalisasikan di negara pancasila. Padahal Islam adalah agama yang syumul (universal) yang berlaku dalam setiap ruang dan waktu hingga akhir zaman. Demikian pula pancasila adalah ideologi yang terbangun atas dasar nilai-nilai agama termasuk Islam.
Memang, pertarungan dua kelompok ini telah dimulai sejak masa kolonial. Di mana pada tahun 1930, Soekarno versus Natsir telah berpolemik tentang masalah-masalah dasar perjuangan kemerdekaan dan tentang masa depan bangsa Indonesia. Keduanya adalah tokoh yang representasi mewakili kelompok nasionalis dan Islamis. Demikian pula pasca kemerdekaan, dua kelompok ini bertarung melalui Piagam Jakarta terutama dalam konsep dasar ideologi bangsa yaitu pada kalimat “…dengan berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” meskipun pada akhirnya berdasarkan musyawarah dapat diganti dengan kalimat “….berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun demikian, kita mestinya tidak menjadikan sejarah pertentangan di atas sebagai semangat pemberontakan terhadap Pancasila ataupun melawan nilai dari ajaran Islam sebab mereka telah tuntas dalam satu kesepakatan dengan menjadikan Pancasila sebagai azas negara dengan rumusannya yang sempurna serta mengambil nilai dari ajaran-ajaran agama.
Namun semangat penerapan syari’at Islam atas nama mayoritas masih terus mengalir hingga ke parlemen dan eksekutif dengan lahirnya partai-partai berazaskan Islam dan melahirkan Undang-Undang serta Perda-Perda bernuansa syari’at Islam. Di sisi lain semangat mempertahankan pancasila sebagai ideology yang legitimed dan melindungi minoritas pun terus dilontarkan melalui parlemen dan gerakan-gerakan nasionalisme. Mereka menginginkan pancasila sebagai harga mati bagi azas negara Indonesia.
Pada dasarnya, Islam dan pancasila adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan sebab keduanya bertujuan mewujudkan perdamaian di muka bumi. Untuk itu perlu ada rumusan dan diplomasi baru guna menjadikan keduanya sebagai ruh bangsa Indonesia. Indonesia yang dapat membentuk masyarakatnya dapat berbangsa tanpa merasa berdosa kepada Tuhannya, demikian pula dapat beragama tanpa merasa mengkhianati bangsanya. Menjadikan agama untuk mengisi pancasila agar tidak bertentangan secara vertical kepada Tuhan. Yakinlah bahwa pancasila merupakan impelementasi atau turunan dari ajaran Islam melalui ajaran hablun minannas (hubungan kepada sesame manusia). Begitu pula melalui ajaran persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathoniyah).
Jadi mengamalkan Pancasila adalah bagian dari ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam dan mengamalkan Islam adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan kepada bangsa Indonesia. Sebaliknya, melanggar ketentuan Pancasila dapat melanggar nilai-nilai dari ajaran Islam dan tidak melaksanakan Islam adalah pengkhianatan kepada bangsa Indonesia.
B.
Sila dalam Pancasila yang berkaitan Ketuhanan
Sila pertama :
Ø Ketuhanan
Yang Maha Esa
Dalam kebebasan berkeyakinan dan berpendapat, Islam
tidak memaksa seseorang untuk merubah keyakinannya dan memeluk Islam. Walaupun
Islam menyerukan untuk itu, namun seruan kepada Islam adalah satu hal dan
memaksa memeluk Islam ialah hal lain. Yang pertama disyariatkan dan yang kedua
dilarang :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (An-Nahl : 125)
Allah juga berfirman tentang paksaan :
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah :
256)
Salah satu prinsip yang ditetapkan syariat ialah :
Kita biarkan mereka dan juga agama yang mereka anut.
Jadi, pemerintah Islam tidak memusuhi non muslim baik keyakinannya maupun
ibadatnya. Seperti halnya tempat-tempat ibadat Yahudi dan Nasrani tetap
terpelihara dalam pemerintahan Islam di sepanjang masa, tidak juga mengalami
kerusakan, tidak dari kaum Muslimin dan tidak juga dari negara. Bahkan negara
melindunginya dan para pemiliknya diperbolehkan melakukan ibadat di tempat itu.
Perlindungan fiqh Islam terhadap kebebasan akidah
telah mencapai taraf yang kita soalan masuk islamnya salah seorang dari suami
isteri yang non muslim, Imam Syafi’i
(pendiri mazhab Syafi’i dalam fiqh) mengatakan, tidak boleh menampakkan
keislamannya kepada pasangannya. Berbeda dengan mazhab Hanafi yang
memperbolehkannya. Imam Syafi’i beralasan : Sesungguhnya dalam penampakan
keislaman ini terdapat (kesan) permintaan masuk Islam kepada mereka (non
muslim), padahal kita telah menjamin dengan perjanjian tanggungan untuk tidak
memaksa mereka. Jadi Imam Syafi’i melihat bahwa menampakkan keislaman kepada
pasangan yang belum masuk Islam merupakan salah satu bentuk permintaan dan
pemaksaan kepadanya untuk masuk Islam, hingga tidak diperbolehkan. Taraf yang
begitu tinggi yang telah dicapai oleh fiqh Islam dalam melindungi kebebasan
akidah.
Apa yang dikemukakan harus tidak
boleh diterapkan dalam persoalan hukuman bagi orang murtad, yaitu hukuman orang
Islam yang keluar dari Islam. Persoalan ini adalah satu hal dan apa yang telah
dikemukakan mengenai kebebasan akidah adalah hal lain. Dengan keislamannya, seorang muslim telah terkena
oleh hukum-hukum dan keyakinan Islam. Jika dia murtad, ia telah menghindari
kewajibannya dan berbuat buruk serta membangkang terhadap negara. Sehingga
berhak mendapat hukuman, karena seseorang yang menghindari kewajibannya harus
mendapat balasan, sebagaimana dikenal dalam hukum
DAFTAR PUSTAKA
Zahro, Ahmad, at. al., Antologi Kajian Islam,
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006.
Tafsir, Ahmad. Filasafat Ilmu, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2007.
Baca juga : https://marulianahmad.blogspot.com/2021/09/sejarah-hari-kesaktian-pancasila.html
0 Comments